Monday, May 11, 2015

REVIEW FILM: THE COBBLER (2014)

Durasi: 99 Menit
Skor IMDb: 5.8/10

It's been a while. Setelah sesaat vakum, gue balik lagi dengan film komedi yang dibintangi Adam Sandler. Kayaknya udah cukup lama gue kagak nonton film Adam Sandler karena gue semata-mata liat film dari rating IMDB-nya. Dan kali ini gue coba mengabaikan rating untuk coba nonton film komedi yang less thinking-lah. Dan emang seharusnya rating itu bukan segalanya men, kalo emang lu suka komedi, tonton aja, yah lumayan lah..

Jadi film ini menceritakan seorang tukang sol sepatu, kalo pinter bahasa Inggris mah udah paham baru baca judulnya doang (The Cobbler = tukang sol sepatu). Entah kenapa kalo di Amrik sono tukang sol sepatu punya titel atau panggilan yang keren yah, hehee. Adam Sandler di film ini berperan sebagai sang Cobbler bernama Max Simkin di mana doi mewarisi usaha sol sepatu ini dari leluhurnya. Bayangin aja, doi udah generasi keempat yang buka usaha sol sepatu, keren abis (biasa aja sih). Karena usaha yang gitu-gitu aja, Max serasa udah mau nyerah dan pengin beranjak dari usaha satu ini. Doi ngiri kali ya sama tetangganya yang punya mobil keren, sopir pribadi ama pacar yang super sexy. Selain berkutat di kehidupan pribadi Max, film ini juga berusaha bercerita mengenai kegagalan Max dalam melakukan pendekatan terhadap wanita-wanita di sekelilingnya. Ia pun harus menjalani kehidupan bersama wanita satu-satunya di hidupnya yang tidak lain dan tidak bukan ialah ibunya sendiri. Kehidupan keluarga Simkin tampak complicated karena meskipun Max mewarisi usaha ayahnya, tetapi ayahnya tidak meninggalkan kesan yang baik untuk Max setelah sang ayah meninggalkan Max dan ibunya pergi entah ke mana.

Film ini juga sedikit nyerempet ke masalah sosial yang dekat dengan kehidupan masyarakat suburbs, daerah pemukiman yang akan diubah menjadi kota, kebijakan penguasa-penguasa yang jauh dari kata membela rakyat kecil, serta kriminalitas, dan krisis jati diri menjadi bumbu dari film The Cobbler ini. Adalah Carmen yang menjembatani kehidupan Max dengan segala pergolakan sosial yang terjadi di lingkungan tersebut. Carmen sendiri ialah seorang pekerja sosial yang vokal melawan kebijakan penggusuran lahan untuk dikembangkan sebagai daerah yang lebih mewah. Carmen inilah wanita lain yang tidak mampu didekati oleh Max meskipun maksud hati ingin, bahkan sekedar minta nomer telepon pun Max tak sanggup.

Kehidupan Max seketika berubah ketika tanpa sengaja ia menggunakan lagi mesin jahit milik ayahnya yang telah lama mangkrak di gudang bawah tanah. Ternyata semua sepatu yang dibedah solnya lalu dijahit dengan mesin jahit tersebut mampu mengubah Max menjadi sosok pemilik sepatu tersebut. Kehidupan Max yang lebih berwarna pun dimulai dari situ. Max bebas bertingkah sekenanya karena ia tampil dengan tubuh orang lain. Di tengah kesibukannya menjadi orang lain, tiba-tiba ia dihadapkan dengan kabar sedih lainnya, sehari setelah ibunya makan malam berdua dengan sang ayah (yang Max lakukan sendiri), ibu Max menghembuskan napas terakhirnya. Kehidupan yang semakin runyam membawa Max kepada masalah selanjutnya, ia terjebak di dalam tubuh seorang gangster yang coba membunuhnya. Masalah lain yang belum terselesaikan pula ialah perihal akan tergusurnya apartemen milik bapak tua sesepuh di daerah pemukiman Max. Dapatkah ia keluar dari berbagai permasalahan ini? Bagaimanakah nasib Max dengan wanita? Akankah ia mendapatkan Carmen? Lalu problematika terakhir yang harus terjawab ialah ke mana ayah Max pergi?

Sebuah film yang sarat akan pesan moral meskipun dibawakan dengan genre komedi. Rating yang rendah ternyata tidak membuat gue sebagai penikmat film kecewa dengan film ini, justru lebih mudah diikuti alurnya jika dibandingkan dengan film komedi rating tinggi yang justru lebih membutuhkan pemikiran dalam untuk mencerna hingga akhirnya kita sebagai penonton pun perlu berpikir ulang tujuan awal menonton film komedi itu apa? Film ini menggambarkan 'living in someone elses shoes' secara gamblang dan well done Mr Adam...

No comments:

Post a Comment